Rabu, 02 Desember 2015

December Rain


Desember? Menjadi bulan yang yang begitu indah diantara bulan-bulan yang lainnya. Karna di bulan Desember menorehkan sebuah luka dan tanda tanya yang besar dan bahkan sampai sekarang belum ditemukan jawabannya.

Dian, duduk manis di meja belajarnya sambil membuka labtop yang ada di mejanya. Kedua bola matanya membalak melihat sebuah caption di labtopnya, yang bertuliskan :

“Dear, 11 December 2011…….
Aku tak tau harus bagaimana aku harus mengawali atau bahkan mengakhiri cerita hari ini.
sungguh, hari ini terasa begitu menyenangkan.
Yayasan kanker, pertemuan itu, kamu, dan hujan. Semuanya seakan sudah di rancang apik oleh Tuhan. Begitu dramatis.”

Sambil menarik nafas panjang, dia hanya menghela nafas dan membuangnya dari hidung. Memalingkan pandangan kearah luar melalui jendela, meratapi sebuah rintikkan hujan yang mulai menari-nari di luar rumahnya.

“hari ini tanggal 3 desember, tepat dimana aku bertemu dengannya, sesuatu yang tak pernah terfikirkan oleh ku bisa berkenalan dengannya. Kamu dan hujan yang selalu membawa kenangan di masa lalu. Hei Nit? Apa kabar kamu disana? Apakah kamu baik? Aku harap Tuhan akan selalu menjagamu disana.” Ujar Dian dalam hati.

#FLASHBACK ↓

Hari yang cerah untuk memulai hari yang baru, terlihat disebuah sekolah tampak Dian, dkk sedang asyik bermain basket. Berlari kesana kemari merebutkan bola, tertawa riang bersama teman-temannya. Tiba-tiba saja suara seseorang memanggilnya.

“Dian, kesini sebentar,” aku menoleh lalu bergegas menghampirinya.
“ada apa fan?” tanya ku kepada fany, dia teman sekelasku.
“kamu di panggil Pak Rouf tuh, di cariin dari tadi, katanya ada perlu sama kamu.”
“ada apa emangnya?” tanya ku penansaran.
“yah gak tau, aku Cuma disuruh sampein itu aja ke kamu.” Ujarnya.
“okelah, makasi ya fan.” Fany hanya tersenyum lalu pergi meninggalkan ku.
Dian langsung bergegas menemui Pak Rouf, beliau adalah penanggung jawab OSIS juga guru yang mengajar Bahasa Indonesia di kelasku. Sesampainya di ruangan beliau.

“permisi pak.” Ujar ku.
“oh Dian, silakan masuk nak.” Beliau memintaku untuk masuk.
“permisi pak, ada apa bapak mencari saya?”
“begini Ian, sekolah kita dapat undangan untuk mengikuti seminar tentang kanker besok di YAYASAN KANKER INDONESIA. Kamu bisa datangkan besok?” pinta Pak Rouf.
“loh, kok saya pak? Kenapa gak fathur aja pak, dia kan ketuanya?” tanya ku heran.

“fathur besok gak bisa, dia ada keperluan lain.” Jelas Pak Rouf.
“tapi pak, aku gak tau tempatnya?”
“biar besok fathur yang nganter kamu kesana.”

Seketika itu wajah Dian menjadi redup tak bersemangat, melangkah kaki untuk memasuki kelas.

“woiii, kenapa lu, wajah kusut kek gitu. Kayak baju belum disetrika tau gak, haha.” Ledek temen sebangkunya.
“lagi betek bro,” ujar Dian tak bersemangat.
“kenapa emangnya?”
“besok aku disuruh Pak Rouf buat datang ke seminar di yayasan kanker.”
“haha, ya gak apalah Ian, itukan emang kewajiban mu sebagai anggota OSIS.”

Ke esokkan harinya, Dian sudah siap dengan peralatan yang harus dia bawah, mulai dari buku hingga buku tulis. Melangkahkan kaki dengan rasa tidak bersemangat, dalam hatinya ia terus menggerutu “kenapa harus aku sih, yang lainkan bisa? Fathur jugua gitu, pakek alesan ada acara lah. Arrggghh.” Dian mencoba melampiaskan kekesalannya.

“sudah siap Ian.” Tanya Pak Rouf.
“sudah kok pak.”
“sebentar ya, nunggu fathurnya dulu.”
tak lama kemudian fathur datang dan kami pun bergegas menuju Yayasan Kanker.

Selang beberapa menit, akhirnya kita pun sampai di Yayasan Kanker. Fathur menurunkan ku di depan pintu gerbang.

“nanti jangan lupa jemput aku jam 4, katanya Pak Rouf tadi selesainya jam segitu.”
“ia gampang, nanti tinggal SMS aja kalo udah selesai.”
“oke,” lalu fathur pun pergi meninggalkan aku sendiri tanpa ada teman, dan satu pun orang yang aku kenal.

Dian melangkahkan kakinya untuk memasuki tempat seminar, perlahan dia membuka pintu dan alangkah kagetnya dia, ketika dia dapati isi ruangan hampir penuh. Detak jantungnya menjadi tak menentu, seakan keringat bercucuran di wajahnya. Jauh mata memandang mencari kursi yang kosong untuk dia tempati. Akhirnya dia menemukan tempat itu, tepat di sebelah cewek manis dengan krudung putihnya.

“heiii, permisi, boleh aku duduk disini.” Ujar ku.
“oia, silakan.” Dia mempersilakan aku untuk duduk.


Selang beberapa menit seminarpun belum di mulai, perasaan jenuh, bosan, suntuk mulai menghampiri. Akhirnya untuk menghilangkan perasaan itu, Dian mengajak ngobrol teman di sampingnya.

“kenalin, aku Dian.” Seraya mengulurkan tangan.
“aku Nitta.” Ujarnya dengan lembut.

Itulah awal pertemuan ku dengannya. Orang pertama yang menjadi teman bicara disaat tak satu pun orang yang aku kenal. Dia asyik, dan enak diajak ngobrol. Berkatnya pula perasaan jenuh, bosan tak lagi bersemayam di dalam jiwa.
Beberapa saat kemudian, acara seminar pun di mulai. Pembicara mulai menjelaskan tentang kanker dan para siswa yang ada di ruangan itu mendengarkan.
Jarum jam terus berputar, membawa sang waktu di ujung pembicaraan. Waktu menunjukkan jam 4 dan akhirnya seminar itupun selesai.

“gak kerasa ya udah selesai, padahal materinya tadi bagus banget.” Ujar ku.
“iya, kita jadi lebih tau tentang apa itu kanker.”
“oia, kamu pulang sama siapa?” tanya ku.
“aku nanti di jemput ayah, kamu sendiri,” dia mencoba bertanya balik.
“aku nanti di jemput temen.”
Perlahan suasana ruangan mulai kosong, sebagian siswa ada yang sudah pulang namun sebagian pula masih ada yang diam menunggu jemputan.
“awannya mendung, sepertinya hujan akan turun?” ujar ku.
“kayaknya gitu, padahal ayah belum datang.” Ujarnya kawatir.
“sabar aja, mugkin ayahmu masih di jalan, macet mungkin.”
“iya mungkin, sore gini rawannya macet.”

Sesaat kemudian, hujan pun turun, membasahi tanah yang gersang. Rintikan hujan menari-nari diatas jalan, seakan menahanku untuk terus bersamanya. Inilah awal cerita antara kau, kamu dan hujan. Suatu rencana Tuhan yang sangat apik yang terserat dalam tetesan hujan.

Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, akhirnya hujan pun reda. Sang mentari mulai tersemnyum kembali diatas sana.

“Ian aku duluan ya sudah datang.” Ujarnya.
“bentar Nit, boleh aku minta nomor mu, agar pertemanan kita tidak hanya sampai disini aja.”
“boleh kok.”
Aku memberikan ponsel ku dan dia menuliskan nomornya disana.
“makasi ya Nit, semoga kita bisa bertemu lagi.
“amin Ian,” lalu dia melangkah pergi dengan senyuman manisnya.

Hari mulai gelap, sang mentari perlahan tenggelam bagaikan di telan bumi. Bintang-bintang mulai menampakkan cahayanya, bertaburan indah diatas langit.
Dian membaringkan tubuhnya diatas ranjang, sambil memegang ponselnya, hendak ingin menghubungi seseorang.

“selamat malam Nitta.” Sapa Dian melalui ponselnya.
beberapa saat ponselnya bordering.
“malam juga, ini siapa?” tanya Nitta.
“ini aku Nit, Dian yang tadi di yayasan kanker.”
“oala kamu, iya aku inget, ada apa Ian?”
“gak apa kok, Cuma mau ngasi tau ini nomorku, jangan lupa di save ya, hehe.” Ujar Dian jenaka.
“wkwk, okelah pasti tak save kok.” Ujar Nitta memastikan.

Dari sinilah kita jadi sering chatingan, dari curcol bareng masalah percintaan, keluarga, kekesalan maupun bahas hal yang penting bahkan sampek yang gak penting sekalipun. Dari hal ini pula lah yang membuat kita semakin dekat dan dekat, dan bahkan aku tidak tau apa artinya dengan semua ini.
Sang mentari mulai menampakkan senyumnya kembali dari ufuk timur. Membangunkan Dian dari lelap tidurnya, tuk memulai harinya kembali.

#SETIBANYA DI SEKOLAH ↓

“bagaimana kemaren Ian?” tanya Pak Rouf.
“lancer kok pak, saya senang materinya bagus, lumayan buat nambah pengetahuan,” jelasku.
“sudah dapat copyan materinya kan.”
“sudah pak?”
“yasudah persiapkan materinya sama peralatannya di aula sekarang ya,” pinta Pak Rouf.
“sebentar pak? Ini mau ngapain?” ujar ku bingung.
“hari ini perkelas di awkilkan dua anak, di tambah semua anggota OSIS ke aula semua, kamu jelaskan semua tentang ilmu yang kamu dapatkan kemaren, biar teman-temanmu tau dan saling mengingatkan satu sama lain,” jalas Pak Rouf.
“loh pak, kok gitu? Aku gak bisa pak, maluu!!!”
“kamu pasti bisa, bapak percaya kamu,” ujar Pak Rouf memberikan semangat.
Dengan wajah tertunduk Dian hanya mengiyakan apa yang dikatakan Pak Rouf.

#SORE HARI DI RUMAH ↓

Hari nampak sore, Dian bergegas pulang. Sesampainya di rumah dia menghela nafas seraya membaringkan tubuhnya di tempat tidur, sesaat kemudian, ponselnya berdering, ternyata satu pesan baru dari Nitta.

“sore Ian,” sapa Nitta.
“sore juga Nit”
“lagi apa kamu?” tanya Nitta.
“baru pulang sekolah, capek Nit,” ujar Dian tak bersemangat.
“jam segini kok baru pulang, emangnya habis ngapain?”
“habis sosialisasi di sekolah tadi tentang kanker yang waktu itu.”
“loh, iya ta? Hebat dong.”
“gak kok, biasa aja. Emang kamu gak?”
“gak ada tuh, guru ku gak bilang apa-apa.”
“enak dong kamu, lah aku.”
Nita hanya tertawa melihat ku menggerutu sendiri.

“oia, kapan kita bisa ketemu lagi Nit?” tanya ku.
“jangan minggu-minggu ini ya Ian, aku masih sibuk sama tugas-tugas sekolah.”
“oalah, iyadeh gak apa, santai aja Nit.”
“okedeh, makasi buat pengertiannya.”

Sejak saat itu dan seterusnya kita berdua tidak pernah di takdirkan untuk bertemu, selalu saja ada hal yang membuat kita tidak bisa bertemu, seakan alam merestui untuk kita tidak saling bertemu.
waktu terus berlalu, roda kehidupan terus berputar. Perkenalanku dengannya tepat ketika kita masih di duduk di bangku SMP kelas 2, dan sekarang kita sudah duduk di bangku SMA kelas 2. Jika dihitung dari awal kita bertemu, sudah  tahun kita bersahabatan, dan dalam jangka 4 tahun itu pula aku tidak pernah tau apa yang telah tejadi hingga aku melewatkan satu kesempatan terbaik yang telah Tuhan berikan untukku.

#MASA SMA ↓

Waktu telah mengubah masa yang ada, kini kita duduk dibangku SMA, dimana masa yang menjadikan kita lebih dewasa dan bisa menghargai satu sama lain. Masa menuju kedewasaan dan meninggalkan masa kekanak-kanakkan. Sejauh waktu itu berputar, aku merasa bersyukur karna tali silaturrahmi itu tetap terjalin,

“hai Ian, apa kabar?” sapa Nitta disebuah pesan.
“kabar ku baik kok Nit, bagaimana denganmu?”
“aku juga baik kok. Oia sekolah mu ikut perlombaan basket yang di selenggarain sekolahku?” ujarna bertanya.
“iya Nit, kenapa?”
“gak apa kok Ian, Cuma tanya aja. Oia kamu ikut mainkah?”
“iya Nit.”
“kapan pertandinganmu?”
“besok jam 3 sore Nit.”
“okedeh, aku tunggu kamu besok ya, semoga kita bisa bertemu. Good luck Dian buat besok.”
“sip Nit, makasi ya.”

Hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, tepat jam 3 sore para supporter antar sekolah sudah meramaikan tribun lapangan. Dian mencoba melirik ponsel, namun tak dapati pesan dari Nitta. Akhirnya pertandinganpun di mulai. Suara gemuruh penonton memberikan semangat untuk tim sekolahnya. Dalam hati Dian, dia hanya berharap “semoga Nitta bisa melihatnya bermain. 40 menit pun telah berlalu, pertandingan selesai dan tim sekolah Dian keluar menjadi pemenangnya. Para pemain lalu kembali ke ruang ganti masing-masing. Dian melihat ponselnya dan dia dapati satu pesan dari Nitta.

“kamu dimana Ian?” tanya Nitta.
“aku di ruang ganti Nit, kamu dimana?”
“aku lantai bawah depannya lapangan, kamu kesini.”
“okedeh, tunggu bentar ya.”
Dian pun langsung berlari menghampiri Nitta. Alangkah senangnya dia, akhirnya selama bertahun-tahun tidak bertemu dan Tuhan mempertemukan mereka dengan keadaan yang tidak di rencanakan.

“heii.. Dian?” ujar Nitta seraya tersenyum, sama seperti saat itu, saat pertama bertemu dengannya di yayasan kanker.
“heiii… juga Nitta, lama ya kita gak bertemu,” nampak senyuman berkembang di bibir Dian.
“iya lama banget, 3 tahun lebih sejak saat itu.”
“kamu sih kalo tak ajak ketemu selalu saja gak bisa.”
“hehe, iya maaf. Oia apa kabar kamu?”
“kabar ku baik kok Nit.”
“oia. Selamat ya atas kemenangan mu hari ini. Tadi itu permainan yang hebat.” Ujarnya seraya tersenyum.
“hehe, ia Nit makasi, kamu kok tau?”
“iya dong, aku kan lihat kamu dari sini tadi.”
“haha, aku kira kamu gak lihat,” ujar Dian salting.

Mereka terus bercengkramah untuk melepaskan rasa rindu karna sudah lama tidak bertemu. Namun saying, pertemuan itu terjadi begitu singkat. Kita bertemu kurang dari 4 jamdalam putaran waktu 3 tahun. Sungguh waktu yang tidak sepadan untuk kita bicarakan.

“aku balik dulu ya Nit, temen-temn udah pada mau balik.”
“sebentar Ian, aku mau minta foto bareng buat kenang-kenangan.”
“haha, okedeh.” Beberapa foto telah tersinpan di dalam ponselnya.
“makasi ya Ian,” ujarnya.
“iya Nit, jangan lupa di kirim juga ya nanti, aku minta. Aku tak pulang dulu.”
“oke Dian, hati-hati dijalan.”

#MALAM HARI ↓

Ponsel Dian berdering, ternyata itu pesan dari Nitta.

“giamana fotonya sudah masuk gak?”
“sudah kok Nit, makasi ya.”
“sip Ian. Oia kamu sibuk gak?”
“gak juga kok, kenapa Nit?”
“aku mau curhat ke kamu.”
“oalah, iya gak apa Nit, silakan.”

“menurut mu salah gak kalo kita suka sama temen sendiri?” ujar Nitta memulai curhatannya.
“gak juga sih, biasa aja. Kan itu haknya perasaan kita buat suka sama siapa aja.”
“alasannya kenapa Ian?”
“ia menurut ku suka sama temen sendiri itu lebih aman, kan kita sudah mengenal lebih lama orang itu, jadi kita tau lah banyak hal tentang orang yang kita suka itu,” terangku.
“kalo missal kita udah ngasi sinyal atau ngode gitu, tapi dianya gak mau peka apa yang harus kita lakuin? Terus bertahan atau berhenti untuk mencintai?” tanya nya lagi.
“kalo masalah itu kembali pada setiap individunya Nit mau berhenti apa gak, Cuma kalo kita beneran saying kita akan terus mempertahankan perasaan itu. Masalah dia gak pernah peka tentang sinyal yang kita berikan. Mungkin perlu di tingkatkan lagi, atau bilang langsung aja tentang perasaan kita.” Terangku lagi.
“tapi aku malu lah, masak cewek yang mulai duluan, nanti di kiranya aku cewek apaan.”
“sekarang gini deh, kamu lebih mentingin perasaan mu apa ego mu? Sekarang itu kita berbicara tentang perasaan yang kamu miliki, kenapa kamu lebih mentingin ego mu. Perasaan itu hadir bukan untuk di pendam, melainkan untuk di ungkapkan. Sekarang terserah kamu deh, mau berhenti atau bertahan itu hak mu. Aku hanya bisa memberikan saran aja, selebihnya itu keputusanmu,” terangku memberikan semangat.
“okelah, makasi buat waktunya Dian, selamat malam.”
“malam juga Nitta.”

Sejak saat itu, Nitta pergi dan menghilang dari kehidupan Dian, tanpa pernah Dian tau apa yang telah terjadi sehingga suasananya menjadi sangat berbeda. Pertandingan basket di sekolah Nitta mejadi pertemuan terakhir hingga akhirnya mereka lost contact.
Waktu terus berputar selang 7 bulan kemudian tiba-tiba Nitta kembali menghubungi Dian.

“heiii.. Dian, apa kabar?” sapanya melalui sosmed.
“heii juga Nit, alhamdulillah baik, kamu sendiri bagaimana?” tanya ku balik.
“Alhamdulillah, aku juga baik kok.”
“lama gak ada kabar, kemana aja kamu?”
“hehe, maaf ya. Belakangan ini di sekolah baru aku sangat sibuk, jadi jarang pegang hp.”
“oalah, kirain kamu sudah lupa dengan teman lama mu ini, haha,” canda ku.
“haha gak kok Ian, oia aku boleh minta sesuatu gak?”
“minta sesuatu apaan Nit?” tanyaku bingung.
“aku ingin minta alamat lengkap rumahmu?”
“loh, buat apaan emangnya?”
“aku mau ngirim paket buat kamu.”
“paket apaan, jangan bilang kamu mau ngirim bom buat aku, haha,” candaku lagi.
“haha, gak kok. Ini serius tauk, mana alamat rumahmu?”
“iya-iya, tunggu bentar.”

Sesaat kemudian Dian pun mengirim alamat lengkap rumahnya, ke esokkan harinya sebuah paket datang kerumah. Sebuah box berukurang sedang yang membuat ku sangat penasaran dengan isinya. Setelah di buka ternyata box tersebut berisi sebuah dvd dengan secarik kertas yang bertuliskan.
“No like test when every hard questions had answer. But, in the real life, that was a thing without answer.”
Lalu penyambung kata-kata dari kertas itu, di depan wadah dvd juga terdapat tulisan.
“Play it!! You will get a answer!”

Dua kata yang berbeda tapi saling menyambung, sungguh telah berhasil membuat ku tidak mengerti. Rasa penasaran ku tidak dapat terjawab disaat itu juga, karna memang tidak ada dvd player ataupun labto yang bisa memutar dvd itu. Beberapa hari kemudian, Nitta menanyakan apa aku sudah melihat dvd itu, tanpa merasa bersalah aku hanya mengatakan “belum.” Dan saat itu dia menghilang entah kemana, mungkin dia sangat kecewa, mungkin dia merasa kalo aku tidak menghargai pemberiannya. Karna rasa penasaran sudah di ujung tandus, akhirnya aku datang kerumah teman yang memiliki labtop dan memintanya untuk melihat apa isi dari dvd tersebut.

Dvd dimasukkan lalu sebuah audio visual mulai berputar, sebuah tulisan yang tersusun rapi dengan iringan backsound gitar yang begitu indah, yang membuat ku semakin delima melihat isi dvd tersebut. Setelah melihat isi dari dvd itu, aku merasa terbang sangat tinggi dan akhirnya di jatuhkan. Terpana tak percaya dan merasa bersalah, mungkin dua hal itu yang begitu melekat di dalam benakku. Aku langsung bergegas mengambil ponsel dan langsung menghubungi Nitta. Namun sayang, dia sudah terlanjur kecewa sehingga argument apapun yang aku katakan tak mampu mengobati rasa sakit yang dia rasakan.

“kenapa kamu gak bilang kalo selama ini orang yang kamu suka? Orang yang kamu curhatin ke aku itu adalah aku,” ujar Dian dengan nada kecewa.
“aku takut, takut dengan semua kemungkinan yang ada. Dan aku juga takut jika hal ini mengganggu persahabatan kita.”
“tapi tidak begini juga Nit, jadi selama 3 tahun ini kamu sembunyiin semua kebenaran ini dari aku, kamu tau gak aku merasa seperti orang sangat bodoh dengan semua ini.”
“gak apa kok Ian, mungkin emang seperti ini jalannya seorang Secreet Admirer seperti ku. Aku sudah siap dengan segala resiko ini.”
“tapi kenapa kamu tidak pernah bilang Nit? Bisakah aku memperbaiki semua ini?”
“gak ada yang perlu kamu ubah Ian. Perasaan itu sudah lama menghilang, mungkin karna telah lelah menunggu sesuatu yang tidak pasti. Aku lelah dan akhirnya memilih berhenti untuk mencintaimu.”

Dan itulah menjadi obrolan terakhir ku dengannya, setelah itu tidak ada kabar, hilang bagaikan di telan bumi. Berulang kali mencoba memperbaiki, namun hasilnya Nol, semua terasa tak ada gunanya. Dia pergi dengan rasa yang dia tanggung sendiri. Akhirnya aku berhenti untuk mengganggu hidupnya mungki hal itu yang dia mau, dan aku berfikir dengan aku jauh darinya. Aku tidak akan lagi menyakitinya….

#FLASHBACK DONE ↓

Terdengar suara dari luar, meminta ku untuk segera tidur.
“Dian, sudah malam. Lekas tidur besok sekolah,” pinta mama.
“iya ma, ini sudah mau tidur kok.”

Aku beranjak dari tempat duduk ku, dan membaringkan tubuh diatas tempat tidur. Sambil meratapi langit-langit kamar, dalam hati berkata “hei Nit? Apa kabar mu disana? Besok tanggal 3 di bulan Desember? Apa kamu masih mengingatnya atau mungkin sekarang kau sudah melupakannya? Kau tau? Ketika hujan datang, hal itu selalu mengingatkan ku padamu. Kamu dan hujan bagaikan bintang dan bulan yang akan selalu bersama dalam setiap malam. Begitu juga denganmu. Dimana hujan turun, maka disetiap tetesannya akan menceritakan tentangmu. Hujan yang membawa mu padaku, menahan mu disini untukku, namun hujan pula lah yang membawa mu pergi dari ku.
Waktu terus berlalu, dan hingga sampai saat ini aku masih memikirkan hal itu? Hal yang sampai saat ini belum aku dapatkan jawabannya? Tak banyak yang aku inginkan sekarang, aku hanya ingin kembali dimasa itu, dimana kamu tidak akan menanggung semuanya sendiri. Maafkan aku, maaf karna aku terlalu bodoh untuk mengartikan semua ini. Rasa bersalah ini terus menghantui, terkadang ketika aku memejamkan mata aku bisa melupakan hal yang mengganggu ku, namun faktanya ketika ku membuka mata, hal yang sama akan terjadi.
Kamu dan hujan? Akan selalu menjadi cerita indah ketika hujan datang, seperti saat itu, aku, kamu dan hujan di bulan Desember. Selamat malam
……”

To be continue………



#ISI DVD DARI NITTA ↓

Dear, 11 December 2011…….
Aku tak tau harus bagaimana aku harus mengawali atau bahkan mengakhiri cerita hari ini.
sungguh, hari ini terasa begitu menyenangkan.
Yayasan kanker, pertemuan itu, kamu, dan hujan. Semuanya seakan sudah di rancang apik oleh Tuhan. Begitu dramatis.

Hei, apa kabar??
Semoga kabar baik ya
J

Udah lama gak ketemu.
Terakhir sekitar 7 bulan yang lalu
#kalo gak salah sih seperti itu.

Kita udah berteman 3 tahun, berarti :
36 bulan.
144 minggu.
1095 hari.
26.280 jam.
1.576.800 menit.
94.608.000 detik.

Tapi kita ketemu kurang dari 4 jam
dalam putaran waktu 3 tahun.

Selama 3 tahun itu,
kira-kira apa kamu pernah berfikir
kalo aku jatuh cinta sama kamu??

Mungkin kamu sudah mengetahuinya,
mungkin saja tidak.
sebenernya udah lama ingin cerita ini ke kamu.
tapi baru sekarang keberanian itu muncul.

Untuk waktu yang bisa dibilang cukup singkat (3 jam)
adalah waktu yang mustahil untuk orang bisa jatuh cinta.

Tapi tidak untuk ku!
untuk pertama kalinya bertemu denganmu,
maka saat itulah…..
“I FALL IN LOVE WITH YOU…..”

Perasaan itu mulai muncul dan menyeruak
tepat di hujan turun.
Hujan dimana yang menjadi akhir pertemuan kita
di Yayasan Kanker, 3 tahun yang lalu.
Do You Remember It?

Pikiran ku sudah melarangnya,
agar perasaan ini tidak tumbuh.
tapi hatiku, berkata lain,
dan dia berhasil meyakinkan ku.

Maaf,
maaf aku telah diam-diam menyukaimu……

It’s crazy how I can go months or years
without talking to someone
but he still cross in my mind everyday.

Kamu sudah seperti matahari dan bulan
selalu ada di setiap harinya.
taka da jeda untuk menghilang…. Menghilang dari fikiranku.

Perasaan ini seakan membunuh!
bagaimana tidak??
bertahun-tahun aku belajar move on
tapi nyatanya selalu gagal…

Tapi menjelang 3 tahun,
perasaan itu perlahan-lahan mulai luntur.
lelah, bosan, jenuh.
semua jadi satu pada saat yang sama.

Itulah dampak dari seorang secret admirer.
Cuma bisa mengagumi dari jauh
memendam perasaan sendirian,
sampai akhirnya memilih berhenti.

Mungkin ini saatnya untuk berhenti
berhenti berlari di tempat yang sama….
dengan perasaan yang sama.

Dari cerita ini aku belajar banyak hal
terutama tentang ketulusan.
Jika,
“ada hal yang tak selalu bisa ku pertahankan,
ku perjangkan, dan ku harapkan.
“salah satunya tentang perasaan seseorang.”

Dear, Dian….
Please don’t ever forget me.
I want to meet you again, again, and again.
yesterday, today, tomorrow.
I stiil miss the same story about you.