Senin, 18 Juli 2016

Aisyah Part I - The Only ONE


Aku terbangun dari lelap tidur ku, berharap akan ada cahaya yang memampu menerangi jiwa yang sepi. Ku coba melihat dunia di balik jendela kamar ku, namun semua tetap terasa sama tak ada yang berubah.

Perlahan ku langkah kan kaki tuk menjemput cahaya mentari. Berharap sinarnya akan mampu mencairkan hati yang beku. Dan untuk kesekian kalinya aku berharap akan ada kehangatan yang bisa aku rasa kan, meski itu untuk yang terakhir kalinya bagi ku……

“Ma, Pa. Dimas berangkat dulu ya.”
“gak sarapan dulu sayang?” sahut mamanya.
“gak usah ma, Dimas sarapan di kampus aja.” Beranjak pergi.
“lihat tuh kelakuan anak mama, diajak sarapan orang tua malah milih sarapan di luar, dasar anak gak tau di untung!” Dimas menghentikan langkahnya.
“Pa, boleh aku bertanya sesuatu padamu. Kapan terakhir kali kita makan bersama dalam satu meja?”
“apa maksud dari pertanyaan mu itu?”
“aku hanya menanyakan, kapan terakhir kali kita makan bersama? Pernahkah papa berfikir kalau selama ini aku selalu sendiri.”
“cukup Dimas!!! Kamu mulai berani sekarang. Papa sama mama ini bekerja untuk kebutuhan kamu, seharusnya kamu bersyukur untuk itu.”
“aku sudah sangat bersyukur kepada Tuhan pa, tapi yang Dimas butuhkan bukan semua materi ini, tapi kasih sayang papa dan mama buat Dimas.”
(Plaakkkk) Sebuah tamparan keras melayang di pipi Dimas.
“kamu sudah mulai banyak bicara ya sekarang, dasar anak tidak tau di untung. Mahasiswa macam apa kamu ini? Apa di kampus dosen mu tidak pernah mengajari mu bagaimana cara berterima kasih kepada orang tua,” ujar papanya dengan wajah memerah.
“apa papa tidak pernah belajar sebagai orang tua! Apa yang harus di lakukan orang tua untuk anaknya? Terima kasih untuk sarapan paginya yang begitu indah dari anda.” Dimas beranjak pergi.

Entah, sudah tak terhitung berapa lama aku hidup di dalam kegelapan ini. Terbelenggu dengan sebuah beban yang saat ini menyayat hati. Orang bilang rumah adalah surga, tapi bagi ku rumah adalah neraka yang di dalam nya hanya menyimpan sebuah siksaan hati yang perlahan mulai menggerogoti hati. It’s damn for me, I hate everything in my house!”

Setibanya di kampus, Dimas mempercepat langkah kakinya untuk menuju toilet.
(uhukk… uhukkk...) Darah keluar dari hidung.
Dimas mengambil sapu tangan yang selalu dia simpan di dalam saku celananya. Dengan segera mengusap darah di hidungnya berharap takkan ada orang yang melihatnya.
“woiiii…. Ini dia yang kita tunggu-tunggu baru datang, dari mana aja lu bro? temen yang lain udah pada nungguin tuh.” Sapa salah satu temannya.
“sorry tadi dari toilet, ada panggilan alam yang mengganggu,” ujarnya dengan gurau.
“okelah, yok gabung sama yang lain.” mereka pergi…….

Kampus adalah surga bagiku dimana aku bisa merasakan kesenangan yang tidak bisa aku dapatkan di dalam rumah. Di kampus aku bisa mengeluarkan semua beban yang membelenggu, terbang bebas dan lepaskan semua. Bersama mereka aku bisa bahagia, tertawa bersama.
Seperti biasa ketika jam kosong Dimas dan temannya biasa nongkrong di belakang gedung kampus menghibur diri dengan minuman keras yang mereka genggam atau sebatang rokok yang mereka hisap. Kebiasaan mereka sudah mendapat peringatan dari pihak kampus, tapi mereka tidak pernah menghiraukan peringatan itu.

“cuiittt… cuiiittt…” salah satu teman Dimas bersiul.
“ada Aisyah tuh bro.” Dimas melihat kearah tepat Aisyah sedang berjalan di depan matanya.
“kejar gih, lo kan ngebet banget sama si Aisyah itu, hahaha.” Ujar temannya menggoda.

Di dalam kelas Aisyah meletakan buku dan tas yang sedari tadi ia bawa. Aisyah adalah cewek sholeha yang memiliki paras anggun dan lembut dalam tutur perkataannya. Kepala yang di tutupi hijab membuatnya semakin terlihat anggun.

“eh Syah, tadi aku lihat sepertinya Dimas memperhatikan kamu deh.” Salah satu temannya membuka pembicaraan.
“sok tau kamu Nis” gerutu salah satu teman yang lain.
“orang beneran kok, tadi aku lihat sendiri.”
“atau jangan-jangan dia suka lagi sama kamu Syah?” temannya mulai menerka.
“huss.. jangan asal kamu. Mana mau Aisyah sama cowok gak jelas kayak dia. Udah kelakuannya gak bener, aku heran emang keluarganya gak didik dia apa, kok jadi kayak gitu.” Asiyah hanya tersenyum mendengar obrolan temannya, terdiam tanpa mau berkomentar.

Pulang dari kampus Dimas langsung bergegas ke rumah sakit yang sudah menjadi langganannya.
“bagaimana hasilnya dok?”
“semakin memburuk, apa nak Dimas masih melakukan kebiasaan merokok, dan minum minuman keras yang sudah saya larang?” dimas hanya terdiam.
“kalau saya boleh saran, sebaiknya hindari kebiasaan buruk anda, karna itu hanya akan memperburuk kondisi kesehatan anda.”
“baik dok, akan saya coba. Terima kasih.” Dimas bergegas pulang.
Dimas melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sakit. Tanpa di sadari Aisyah melihat Dimas keluar dari rumah sakit, dengan perasaan penasaran Aisyah memutuskan untuk mengikuti Dimas pergi.

Dimas terus berjalan memasukki gang demi gang hingga akhirnya dia sampai di suatu tempat dimana disana banyak anak-anak jalanan yang sedang menunggu kedatangannya.
“selamat sore adik-adik” sapa Dimas.
“selamat sore bapak guru.” Sapa balik mereka.
melihat pemandangan yang tak pernah terbayangkan oleh Aisyah, hati Aisyah merasa tersentuh.

Hari demi hari berlalu. Tanpa di sadari Aisyah selalu memperhatikan aktivitas yang dilakukan Dimas mulai dari check-up kesehatan di rumah sakit, bahkan sampai berbagi bersama anak jalanan.

Hari ini seperti biasa setelah selesai jam mata kuliah Aisyah bergegas bersiap untuk membuntutti Dimas.
“woiii bro, mau kemana lo buru-buru amet?” ujar temannya.
“seperti biasa anak-anak udah ngumpul tuh.”
“sorry hari ini aku gak bisa ikut.” Ujar Dimas.
“yahh… lo gak asik bro, ada apaan sih kok buru-buru cabut?”
“aku harus ke rumah sakit sekarang, nyokap lagi sakit.”
“okelah kalau begitu tapi janji next time ngumpul ya.”
Dimas hanya mengacungkan jari jempol nya seraya bergegas pergi meninggalkan mereka.

Dari kejauhan tanpa di sadari Aisyah terus memperhatikan aktivitas yang dilakukan Dimas. Hingga tanpa disadari waktu sudah menunjukkan larut malam.
Ketika Dimas akan hendak berpamitan kepada anak-anak jalanan yang di didiknya, tiba-tiba terdengar suara minta tolong. Dimas langsung berlari menghampiri suara tersebut.

“tolonggg… tolongggg…”
“terus saja meminta tolong sayang, tidak akan ada orang yang mendengar suara manis mu itu.”
“woii.. lepaskan cewek itu!” tegur Dimas.
“Dimas…. Tolong aku.”
“Aisyah?” kedua mata Dimas terbalak ketika melihat cewek itu adalah Aisyah.
“heh, anak muda! Mendingan lo pergi dari sini sekarang atau nyawa lo bakal melayang.” Ujar penjahat mengancam.
“Dimas.. tolong aku.. aku takut.” Seru Aisyah yang merasa ketakutan.
“kamu tenang ya Syah, aku pasti bakal nyelamatin kamu.”
“lepasin cewek itu!!!”
“banyak bacot juga nih bocah, ayo hajar.”
pertengakaran pun terjadi. Dimas yang di kroyok oleh lima penjahat tidak dapat menahan setiap pukulan yang di hantam kan kepadanya. Beruntung saat kejadian ada polisi pantau yang sedang berkeliling, sehingga nyawa Dimas masih bisa di selamatkan. Lalu polisi membawa mereka berdua ke tempat yang aman.

Dimas mendapat perawatan ringan dari puskesmas terdekat. Dengan sangat hati-hati Aisyah membersihkan luka Dimas dengan air hangat.
“Duhh…. Duhh.., pelan-pelan dong, sakit tauk.” Ujar Dimas kesakitan.
“i… iiya, maaf.” Ujar Aisyah merasa bersalah.
“terima kasih banyak ya Dim, kamu udah nyelamatin aku tadi. Kalau gak ada kamu gak tau deh nasib ku bakal kayak apa.” Ujar Aisyah.
“iya Syah sama-sama, santai aja sesamA mahkluk hidup kan emang harus saling membantu.” Mendengar tutur kata Dimas membuat Aisyah semakin kagum dengan sosok Dimas yang baik. Dia tidak seperti yang terlihat, ada sisi lain yang tidak di ketahui oleh orang lain.
“btw, ngapain kamu malam-malam gini ada di luar rumah?”
“ituu. Anu.. tadii…” Aisyah tampak kebingungan dengan pertanyaan Dimas, tapi pada akhirnya Aisyah memilih untuk jujur.
“maaf ya Dim. Sebenarnya dari beberapa hari ini aku ngikutin kamu.” Aisyah tertunduk pilu.
“apa? Jadi selama ini kamu ngikutin aku? Ngapain Syah, hahaha.” Dimas tertawa.
“yaa… aku Cuma penasaran aja sama hal yang kamu lakuin itu. Kenapa kamu repot-repot ngurusi anak-anak jalanan itu. Sedangkan petinggi-petinggi kita acuh kepada mereka?” untuk sesaat Dimas menatap tajam mata Aisyah yang membuat Aisyah seakan mati gaya.
“kamu mau tau apa alasan ku?” Aisyah hanya menganggukkan kepala.
“yang aku lakukan itu adalah cara ku bersyukur kepada Tuhan. Aku jauh lebih beruntung dari mereka, jangankan untuk pendidikan untuk makan saja mereka tidak tau harus kemana. Maka dari itu, aku ingin berbagi ke mereka, biar mereka bisa pinter dan bisa memperbaiki kehidupan mereka di masa depan.” Aisyah hanya tercengang dengan jawaban yang Dimas lontarkan.
“tapi di balik itu semua ada point lain yang lebih penting.” Dimas tersenyum.
“apa itu?” tanya Aisyah bingung.
“hidup mu akan terasa lebih bermakna ketika kamu bisa membantu orang lain. kamu akan merasa bahwa kamu hidup itu berguna untuk orang lain.”

Sesampainya di rumah, Aisyah masih saja ternyiang perkataan yang Dimas lontarkan padanya. Dia melihat sisi lain dari Dimas yang tak mungkin di lihat oleh orang lain. sejak saat itu Tuhan telah menumbuhkan rasa cinta di dalam hati Aisyah untuk Dimas.

Waktu menunjukkan jam 01:00
“dari mana saja kamu, jam segini baru pulang?” tegur papa nya.
“ya ampun… wajah kamu kenapa sayang, kok bonyok kayak gitu.” Ujar mama nya kawartir.
“gapapa ma, tadi habis jatuh di jalan.”
“bohong kamu! Pasti kamu abis tawuran kan, ikut anak berandalan yang gak jelas masa depan itu. Lihat dirimu, mau jadi apa kamu itu?”
“papa, hentikan semua itu!” ujar mama nya.
“terus saja membela anak berandalan seperti dia. Dasar anak tidak tau terima kasih.” Dimas langsung bergegas meninggalkan kedua orang tuanya, berlari menju kamar nya.

Tak terhitung berapa tetesan air mata yang sudah aku teteskan untuk luka ini. Orang bilang rumah adalah surga namun yang aku rasakan adalah neraka. Tak ada ke damaian yang bisa aku rasakan di rumah ini. Mereka bilang keluarga adalah pencitraan dari rasa kasih sayang yang penuh kehangatan, namun yang ku rasakan hanya kedinginan hati yang perlahan mulai membekukan hati dan seakan terasa mati.

(tokkk.. tokkk…) suara seseorang sedang mengetuk pintu dari luar.
“sayang ini mama, boleh mama masuk.”
perlahan mama nya mulai membuka pintu dan menghampiri Dimas yang terbaring diatas ranjangnya.
“sayang, maaffin papa sama mama ya. Mama tau kamu merasa kesepian karna papa sama mama sibuk bekerja. Kamu harus bisa ngerti semua ini buat kamu sayang,” ujar mamanya seraya mengelus kepala anak semata wayangnya itu.
“tapi bukan itu yang aku mau ma, aku butuh papa sama mama, aku takut ma.”
“takut kenapaa sayang, mama ada disini buat kamu…”

Dalam bayangan kelam aku sendiri hanya berteman dengan sepi. Mencoba tersenyum manis meski itu palsu. Mencoba tertawa agar tak ada yang tau bahwa hati ini sedang terluka. Biarkan semua ku pendam sindiri hanya akan Tuhan dan aku yang tau atas apa yang aku rasakan saat ini dan seterusnya hingga ajal datang mengjilangkan luka…..

Aisyah tak dapat lagi membendung rasa yang dia miliki. Semakin dia bersembunyi di balik rasanya, semakin besar pula rasa rindu yang tercipta untuk Dimas.
“oke, besok aku harus ungkapin semua ini ke Dimas. Aku gak perduli nanti dia mau jawab apa, atau menganggap aku apa. Yang terpenting sekarang aku hanya ingin dia tau perasaan ku padanya.”

Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi, mungkin hal itu yang dapat tergambarkan dalam kehidupan Dimas. Berharap akan ada setitik cahaya yang mampu menerangi jiwanya yang sepi.
Dimas duduk menyendiri di sebuah taman kampus. Dari kajauahan Aisyah melihat Dimas yang nampak sedang sibuk dengan buku yang saat ini dia genggam. Perlahan Aisyah mendekati Dimas.

“hai Dim,” sapa Aisyah.
“haiii juga Syah. Tumben kemari ada apa?”
“gapapa kok, aku ganggu kah?”
“oh gak kok, ini juga lagi santai aja.”
“gimana luka mu, sudah baikkan?”
“oh sudah kok, ini juga udah sembuh.”
untuk sesaat suasana menjadi hening, tak tau apa yang harus di katakan, hingga akhirnya Aisyah membuka topik pembicaraan.
“Dim, aku mau ngomong sesuatu ke kamu, tapi maaf ya sebelumnya mungkin ini terdengar tidak sopan,” ujar Aisyah tersipu malu.
“mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget. Santai aja lagi Syah.”
Dengan mengumpulkan keberanian yang begitu besar akhirnya Aisyah mengungkapkan isi hatinya.
“aku suka kamu Dim. Oke aku tau ini tidak masuk akal. Terserah kamu mau berpendapat aku cewek murahan atau semacam nya. Aku Cuma ingin kamu tau perasaan ku kalau aku sayang kamu. Kamu sudah berhasil menganggu di setiap ingatan ku.”
Mendengar perkataan Aisyah sontak membuat Dimas tiba-tiba  menghentikan bacaan buku yang sedari tadi dia genggam.
“apa Syah? Kamu suka aku? Apa gak salah denger aku?” tanya Dimas memastikan bahwa dia tak sedang bermimpi.
“aku rasa perkataan ku sudah jelas, jadi aku tidak akan mengulang untuk kedua kalinya.”
“yah, aku denger sih. Aku cuma mastiin aja,” ujar Dimas mengela.
“kok bisa kamu jatuh cinta sama cowok kayak aku gini?”
“emangnya kenapa, ada yang salahkah?”
“kamu lihat aku. Apa yang kamu lihat dari cowok berandal kayak aku. Sepertinya kamu salah mencintai orang.”
“tidak ada yang salah dengan perasaan ku ke kamu. Aku sudah meyakinkan hatiku bahwa ini benar.”
“maaf Syah, aku gak bisa. Kamu berhak dapatkan yang jauh lebih baik dari pada aku. Bukan seperti ku yang tak tau aturan kayak gini.”
Dimas hendak beranjak pergi, namun genggaman tangan Aisyah menahannya.
“tunggu!!!”
“aku tidak melihat mu seperti apa yang mereka lihat padamu. Aku sendiri tidak tau kenapa aku bisa suka padamu. Namun yang aku tau, kamu jauh berbeda tidak seperti apa yang di pikirkan mereka. aku melihat hati yang tulus di dalam hatimu. Jadi aku mohon jangan berbohong pada ku.”
Untuk sejenak Dimas terdiam, membalikkan badan dan secepat kilat memeluk erat Aisyah.
“bila ini takdirnya, aku tidak akan mengingkarinya. Aku juga sayang kamu Syah…”

Hari demi hari mereka lalui bersama. Berbagi duka, canda tawa bersama. Sejak saat itu Aisyah seakan menjadi asisten pribadi Dimas yang ikut serta dalam membantu anak-anak jalanan. Kini hari-hari dimas lebih berwarna. Kehadiran Aisyah membuatnya dapat merasakan senyum yang lama hilang, titik terang itu datang yang perlahan mulai mencairkan hati yang telah lama beku.

Untuk beberapa bulan terkahir Dimas tidak seperti biasanya melakukan check-up ke dokter. Merasa dirinya baik-baik saja membuatnya enggan untuk pergi ke dokter. Hingga suatu hari Dimas terjatuh tak berdaya di atas tanah, yang membuatnya harus dilariakn kerumah sakit.

Setelah beberapa jam menunggu akhirnya Dimas mulai siuman.
“aku dimana?” ujarnya dengan lemas.
“jangan banyak gerak dulu, kamu lagi dirumah sakit,” sahut Aisyah yang sedari tadi menunggunya.
“are you ok?”
“aku gapapa kok, terima kasih ya.” Aisyah hanya tersenyum. Tiba-tiba darah keluar dari hidung Dimas.
“ya ampun Dim. Itu kenapa hidung kamu berdarah gitu.”
“gapapa kok Syah. Ini cuma mimisan biasa kok. Tenang ya, gak perlu kawatir,” pinta Dimas menenangkan kekasihnya.
“biar aku telepon orang tua mu ya, biar mereka jemput kamu disini.”
“gak perlu Syah. Mereka tidak punya waktu untuk melakukan hal seperti itu.”
“kamu ngomongnya kok gitu, kenapa?”
“hhm… mereka terlalu sibuk dengan dunia nya masing-masing.” Aisyah terdiam tak mengerti.
“sudahlah, aku bisa pulang sendiri kok.”
“kamu yakin gak mau aku anter pulang aja.”
“gak usah, lagian habis ini aku masih ada urusan. Kamu pulang duluan aja ya.”
“yasudah deh kalau gak mau, aku pulang dulu ya, I love you.”
“ I love you too. Kamu hati-hati ya.” Aisyah hanya tersenyum seraya pergi meninggalkan Dimas.

Setelah di rasa Aisyah sudah menjauh pergi. Dimas bergegas pergi menuju rumah sakit langganannya untuk memeriksakan dirinya.

Darah terus mengalir di hidungnya yang membuat Dimas semakin merasa kawatir
(uhukk… uhukk…)
“bagaimana dengan kondisi saya dok?”
“sudah berapa lama nak Dimas tidak datang kemari?”
“sudah sekitar tujuh bulanan dok.”
“jadi selama itu nak Dimas tidak pernah meminum obat yang saya berikan.” Dimas hanya menggelengkan kepalanya.
“begini nak Dimas, dengan berat hati saya harus katakan ini pada anda. Saya sebagai dokter tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kanker paru-paru yang anda derita sudah mencapai stadium 4. Yang kemungkinan besar anda tidak dapat bertahan dalam jangka lebih dari satu bulan.”
Mendengar keterangan dari sang dokter membuat tubuh Dimas lunglai seakan tak berdaya. Jiwanya seakan mati disaat itu juga. Pandangannya jauh melayang dimana saatnya nanti dia harus meninggalkan orang-orang yang dia sayangi.
“jadi menurut dokter sisa umur saya tinggal satu bulan saja dok?”
“begini nak Dimas. Saya sebagai dokter juga manusia jadi saya tidak bisa memastikan kematuian seseorang. Namun sesuai diagnosa saya sebagai dokter, itulah yang akan terjadi. Jadi saran saya perbanyaklah minta kepada Tuhan, agar Tuhan memberikan kesembuhan untuk mu.

Dimas berjalan dalam gelap nya malam. Di tatapilah pijaran lampu jalanan yang seakan memberikan cahaya terang untuknya pulang. Jiwanya kosong, dan hatinya terasa begitu hampa. Dia tidak pernah menyangka akan mengetahui kematiannya sendiri yang sebentar lagi akan menjemputnya….

Di ruang tamu, tampak kedua orang tua Dimas sedang berkumpul. Dimas melangkahkan kakinya menuju kamar tempat dimana dia bersembunyi. Menyembunyikan semua luka dan kesedihannya disana. Pikiran yang kacau balau membuatnya tak menghiraukan apa yang ada di sekitarnya.

“Dimas, berhenti kamu!!”
“kamu ini semakin lama semakin kurang ajar! Dasar tidak tau sopan santun! Sudah tau ada orang tua, masuk rumah seenaknya saja tanpa memberikan salam.”
Dimas hanya terdiam seraya menundukkan kepalanya.
“kalau papa ngomong itu kamu dengerin, jangan hanya bisanya menyusahkan orang saja.”
“apa papa pikir dengan adanya Dimas itu menjadikan beban untuk keluarga ini?”
“sudah mulai berani membantah papa. Kalau kamu tidak bisa papa atur, silakan angkat kaki dari rumah ini.”
“papa! Jaga perkataanmu,” sahut mamanya Dimas.
“baik pa, kalau itu emang bisa bikin papa merasa lebih baik. Tenang aja kok pak, sebentar lagi Dimas bakalan pergi dari sini untuk selamanya. Terima kasih.”
“papa. Ngomongnya jangan kasar gitu dong, nanti kalau Dimas beneran pergi gimana!”
“halah, itu gak mungkin ma. Anak manja seperti dia mana bisa hidup tanpa kita.”
mamanya Dimas hanya menggelengkan kepala.

Kedua bola mata Dimas berlinang mencoba membuang semua kesedihan dan bebannya bersama tiap aliran air mata yang keluar dari kelopak matanya. Entah kepada siapa dia hendak berbagi. Di dalam dunia yang begitu luas dia seakan merasa sendiri. Akhirnya dia menghubungi temannya dimana dia bisa melupakan semua kesedihan yang di rasakannya.
“hallo bro, lo dimana?” ujar Dimas.
“di tempat biasanya bro. ini lagi bareng anak-anak.”
“oke, gue kesana sekarang.”

Rokok dan minuman keras seakan menjadi teman setia bagi Dimas. Baginya, itu adalah cara terbaik yang bisa dia lakukakn untuk melupakan semua beban penak yang ada di kepalanya.
Segelas demi gelas dia tekuk. Dia tak lagi memperdulikan penyakit yang di deritanya yang perlahan mulai menggerogoti tubuhnya.

Di kampus Aisyah mencari sosok yang di cintainya, namun tak ujung dia temukan.
akhinya satu persatu dia mulai mengintrogasi teman-teman Dimas.”
“ehh, Ton. Kamu lihat Dimas gak?”
“enggak Syah.”
“Dava, kamu lihat Dimas gak?”
“enggak tuh.”
“Linda, kamu lihat Dimas gak?”
“enggak Syah. Tadi di kelas juga gak ada, kayaknya dia gak masuk.”
“oke deh, makasi ya Lin.”
Di rasa semua introgasinya tidak membuahkan hasil, akhirnya dia tau harus kemana tempat dimana Dimas berada.

Suara gemuruh tawa anak jalanan itu seakan menjadi alunan lagu sebagai obat penenang Dimas. Senyum polos mereka memberikan kehangatan untuk mencairkan hati yang sedang membeku.
“assalamualaikum,” salam Aisyah dari luar pintu.
“wa’alaikum salam. Iya adik-adik, untuk hari ini udahan dulu ya. Besok kita lanjut lagi,” ujar Dimas menyudahi pembelajarannya.
“tadi kenapa gak masuk kuliah?”
“hhmm… lagi males, dosennya bosenin.”
“jangan bohong kamu, aku tau kamu lagi ada masalah.”
“dari mana kamu tau itu?”
“kedua matamu berbicara seperti itu.”
Dimas terdiam.
“please… jangan bohongin aku, aku sayang kamu, aku mau jadi sebuah buku diary buat kamu dimana kamu bisa menuliskan semua ceritamu disana,” ujar Aisyah dengan tatapan mata yang redup yang membuat Dimas semakin tak kuasa harus menerima takdir bahwa sebentar lagi dia akan meninggalkan orang yang dia sayangi. Hatinya pilu namun dia coba untuk tetap tegar agar Aisyah tidak mengetahui kebenaran yang terjadi atas dirinya.
“duhh.. kamu sok tau banget sih,” sahut Dimas seraya mengeluskan tangannya diatas kepala Aisyah.
“iihhh… jangan gitu, berantakan semua nanti,” ujar Aisyah kesal. Dimas hanya tersenyum.
“sini deh,” Dimas memeluk erat Aisyah.
“kamu yang tenang ya.. everything is gonna be ok honey.” Aisyah hanya menganggukkan kepala seraya tenggelam dalam hangatnya pelukkan yang Dimas berikan.

Di dalam anganannya. Dimas berkata pada hatinya. “Maafkan aku Syah… sampai saat ini aku terus berbohong kepadamu. Aku terus bersembunyi di dalam luka ku. Aku tidak mau membuat mu kawatir atau nantinya akan membuat mu takut. Takut menerima kenyataan bahwa sebentar lagi kita akan berpisah.”
Tuhan, kenapa harus secepat ini Engkau memanggil ku. Disaat aku mulai bisa merasakan kehangatan itu, menemukan titik terang dalam hidupku, kenapa semua ini harus terjadi. Aku masih ingin bersamanya Tuhan. Berikan aku lebih banyak waktu untuk bersamanya, memandang setiap senyuman indah yang selalu dia berikan untukku. Aku sayang dia Tuhan, sungguh sangat menyayanginya……”

Di sisa akhir hidupnya, Dimas banyak menghabiskan waktu bersama Aisyah. Ingin rasanya Dimas menghentikan waktu, agar dia bisa hidup lebih lama lagi.
Hari demi hari terus berganti. Setiap hari Dimas menghitung sisa hidupnya dengan cara mencoret setiap pergantian tanggal. Hingga pada akhinya waktu satu bulan itu akan berakhir.
“tidak terasa sudah tanggal 27. Itu berarti sisa hidupku tinggal tiga hari lagi.”
Dengan perasaan pilu Dimas meratapi semua dengan sedih. Entah apa yang harus dia katakan kepada Aisyah, bagaimana keadaannya setelah dia pergi. Sungguh itu membuatnya semakin tidak ingin pergi. Namun apalah dayanya jika ini memang takdir dari sang Ilahi, maka dia harus pergi dan melupakan semuanya.
“mungkin ini adalah cara Tuhan untuk menyembuhkan luka di dalam hatiku….”

Tiga hari menjelang kematian……

seperti biasa setelah memberikan materi kepada anak jalanan yang di didiknya. Dimas dan Aisyah duduk bersantai melepas penak.
“Syah, aku mau tanya sesuatu sama kamu?”
“mau tanya apa? Tanya aja lagi.”
“kalau misal aku meninggal, apa kamu akan melupakan aku?”
Aisyah terkejut mendengar pertanyaan Dimas.
“kamu tanyanya kok gitu, jangan aneh-aneh deh,” ujarnya cemberut.
“iya ini kan cuma misalnya aja. Kita kan tidak tau kapan Tuhan akan memanggil kita.”
“udah ah, ganti topik pembicaraan.”
“jawab dulu.”
“aku gak bisa jawab.”
“kenapa?”
“karna aku gak mau hal itu terjadi.”
Dimas terdiam, tertunduk pilu.
“boleh aku pinjam jam tangan mu?” pinta Dimas.
“buat apa?” tanya Aisyah.
Lalu Aisyah melepaskan jam tangannya. Dimas melepaskan baterai yang ada di dalam jam tersebut.
“buat apa kamu melepaskan baterai jam tangan ku?” ujarnya dengan bingung.
“aku ingin menghentikan waktu, agar aku bisa selalu bersama kamu.” Ujar Dimas dengan lembut yang membuat hati Aisyah terlena.
“hey.. look at me. I love you so much, please don’t leave me!!!” ujarnya seraya memeluk Dimas.
“I know that, me too honey.”
Dalam angannya Dimas berkata, “mungkin ini akan menjadi pekukkan terakhir kita Syah. Tuhan, aku titipkan dia padamu. Aku sayang dia.”
“oia… besok aku mau pergi, jadi gak bisa ketemu dulu ya. Sekalian aku juga titipkan anak-anak padamu, tolong jaga mereka.” ujarnya dengan nada cengengessan.
“emangnya kamu mau kemana?”
“besok aku mau keluar kota bereng keluarga. Biasalah ada acara keluarga gitu.”
“lama gak? Nanti kalau aku kangen gimana?” ujarnya dengan manja.
“gak kok, cuma sebentar aja. Kamu jaga diri baik-baik ya.”
Aisyah hanya menganggukkan seraya masih dalam pelukkan Dimas.

Last day…..

Menjelang hari terakhir Dimas datang menemui dokter langganan tempat dia berobat.
“dok, saya mau minta tolong.”
“apa yang bisa saya bantu nak Dimas?”
“jika besok memang menjadi hari terakhir buat saya. Saya ingin menitipkan ini kepada dokter.” Dimas memberikan dua amplop.
“jika besok atau lusa dokter mendengar saya telah tiada. Tolong berikan itu kepada orang tua saya dan kekasih saya. Tolong sampaikan bahwa aku sangat mencintainya,” ujar Dimas dengan linangan air mata.
“baik nak Dimas. Saya pasti akan melakukan apa yang di amanahkan kepada saya.”
“dokter, saya mau mengucapkan terima kasih untuk semuanya. Terima kasih sudah mau membantu dan peduli sama saya.”
“iya nak Dimas sama-sama. Maaf saya tidak bisa berbuat banyak karna saya juga manusia biasa.”

Satu hari tidak mendapat kabar dari Dimas, Aisyah mencoba memaklumi.
“aah.. sudahlah, mungkin dia sedang sibuk bersama keluarganya.”
Dua hari, tiga hari berikutnya Aisyah mencoba menghubungi nomor Dimas namun tidak bisa. Di message pun tidak ada respon. Ini membuat Aisyah semakin kawatir dengan keadaan Dimas.

Di kampus Aisyah mencoba mencari kabar tentang keberadaan Dimas, namun usahanya nihil. Akhirnya dia meminta alamat rumah Dimas ke salah satu temannya. Dan setelah jam mata kuliah ia berencana mencari alamat tersebut.
Jam mata kuliah pun berakhir. Saatnya Aisyah mencari alamat rumah Dimas yang saat ini ada di genggamannya. Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, akhirnya dia berhenti di depan sebuah rumah mewah yang alamat dan nomor rumah itu sama persis seperti alamat rumah yang ada di tangannya.
“alamatnya bener ini, tapi kenapa ada bingkaian bunga duka cita gini. Siapa yang meninggal?” rasa penasaran membuatnya berani bertanya kepada salah satu pembantu yang kebetulan sedang menyiram bunga di depan halaman rumah.
“permisi,” sapa Aisyah.
“iya mbak, ada yang bisa saya bantu.”
“begini bu, saya mau tanya. Apa benar ini alamat rumah atas nama bapak Surya Atmadja.”
“iya betul mbak. Ada apa mbak mencari bapak?”
“enggak, aku bukan mau ketemu pak Surya, tapi saya kesini mau ketemu sama anaknya yang bernama Dimas.”
mendengar tutur kata Aisyah, sontak si pembantu langsung terdiam sedih.
“kenapa bu, Dimasnya ada kan?”
“memangnya mbak belum tahu.”
“tahu apa ya bu?” tanya Aisyah kebingungan.
“maaf mbak. Den Dimas sudah meninggal dari tiga hari yang lalu.”
Mendengar keterangan dari sang pembantu membuat Aisyah merasa sangat sedih. Hatinya seakan hancur berkeping-keping. Linangan air matanya seakan menjadi cerminan bahwa hatinya sangat sedih.
“apa bu? Meninggal!!! Ini pasti gak bener. Ibu bohongkan.” Ujar Aisyah tak percaya.
“beneran atuh mbak, saya mah tidak bohong.”
Lalu si pembantu memberikan alamat tempat Dimas di makan kan, dengan kecepatan penuh Aisyah bergegas menuju tempat peristirahatan Dimas menutup mata untuk selamanya….”

Tidak lama kemudian Aisyah telah sampai di pemakaman. Dari kejauahan tampak sebuah makam yang masih baru dengan nisan yang belum usang dan taburan bunga yang masih segar.
(aaarrrggggg……) teriak Aisyah dengan deraian air mata yang sedari tadi membasahi pipinya.
“kenapa kamu bohong sama aku. Kamu bilang mau pergi sebentar tapi nyatanya apa ini.” Keluhnya seraya menggengam erat tanah kuburan Dimas.
“bangun Dimas, bangun….. kamu udah janji gak bakal ninggalin aku tapi kenapa kamu tega ninggalin aku!!!!!!”

Panasnya terik matahari yang menyengat hati tak dapat lagi di rasakan oleh Aisyah. Perasaannya hancur melihat orang yang sangat dia sayangi telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Hari telah sore, tak terasa sudah terlalu lama Aisyah berada di makam Dimas. Aisyah hendak pergi meninggalkan makam Dimas, namun kakinya seakan tak mampu untuk dia langkahkan. Pandangannya masih saja tertuju pada makam orang yang sangat dia cintai.
dalam hatinya dia bertanya, “apa yang terjadi padamu sehingga kamu harus pergi secepat ini.”
Dalam lamunan sedih, Aisyah teringat moment dimana saat dia melihat Dimas sering mendatangi rumah sakit yang sering Dimas kunjungi.
“iya… aku harus kesana. Mungkin dari sana aku bisa mendapatkan informasi apa yang terjadi padamu.” Tanpa berfikir panjang Aisyah langsung melajukan mobilnya kerumah sakit tempat dimana Dimas berobat.

Selang beberapa menit Aisyah pun telah sampai di rumah sakit.
“permisi sus. Apa disini pernah ada pasien atas nama Dimas Atmadja.”
“sebentar ya mbak, saya check dulu.”
“iya mbak benar sekali, namun pasien telah tiga hari yang lalu meninggal.”
“kalau boleh tau, emangnya dia sakit apa mbak?”
“mohon maaf saya kurang tahu. Silakan anda menemui dokter Tony saja. Beliau ada di ruangannya sebelah sana.” Receptionis menunjukkan tempat dokter Tony.
“baiklah, terima kasih.”

Langkah demi langkah Aisyah berjalan, detak jantungnya semakin cepat berdetak karna dia akan mengetahui segalanya dari sini.
“permisi dok, boleh saya masuk.” Sapa Aisyah.
“oia silakan masuk, ada yang bisa saya bantu?” sambut dokter Tony hangat.
“begini dok, saya mau tahu informasi tentang meninggalnya pasien atas nama Dimas Atmadja.”
Sang dokter terkejut seraya tersenyum.
“kebetulan sekali anda kesini. Saya sudah lama menunggu kedatangan anda.”
“apa maksud dokter menunggu kedatangan saya.”
“tunggu sebentar,” dokter mengambil sebuah amplop yang dia simpan di dalam laci nya.
“ini dari Dimas,” dokter Tony memberikan amplop itu kepada Aisyah.
“apa ini dok?” tanya Aisyah heran.
“saya tidak tahu, sebelum Dimas pergi dia menitipkan itu untuk anda.”
Tanpa berfikir lama Aisyah langsung membuka amplop tersebut dan di dapati sebuah flashdisk di dalam nya. “flashdisk? Untuk apa?” guraunya dalam hati.
“maaf dok, boleh saya pinjam labtopnya sebentar?”
“oia, silakan..”
“terima kasih dok.”
Perlahan Aisyah menamcapkan flashdisk ke dalam labtop yang dia pinjam dari sang dokter. Di dapatinya sebuah video yang berdurasi sedikit hanya beberapa menit saja. Tanpa enggan berfikir, Aisyah langsung menekan play pada video tersebut…….

“Haii.. sayang apa kabar? Aku berharap kamu akan selalu baik-baik saja disana. Selamat ya karna kamu sudah berhasil melewati hari tanpa adanya aku. Aku harap seterusnya akan seperti itu. Mulai saat ini terbiasalah untuk jalani hari tanpa hadirnya aku di dalam hidupmu. Mungkin saat kamu menonton video ini aku sudah pergi jauh meninggalkanmu, karna Tuhan telah memanggilku. Tapi tidak dengan cinta ku. Cinta ku akan selalu hidup di dalam hatimu, begitu juga cinta mu. Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu, semua terasa begitu sulit untukku. Maaf ya, aku telah banyak berbohong padamu. Sebenarnya aku mengidap penyakit kanker paru-paru dan dokter Tony bilang bahwa hidup ku tidak akan lama. Tapi setidaknya di akhir sisa hidup ku Tuhan masih sempat mengijinkan ku untuk memiliki mu. Kamu tau? Aku begitu sangat menyayangimu, rasanya aku tidak ingin berpisah. Tapi apa daya ku, Tuhan telah berkehendak lain. Aku ingin bercerita sedikit padamu. Hidup ku begitu kelam, banyak derita yang aku jalani dalam hidup ku dan tak ada satupun orang yang tau. Dalam keputusasaan menjalani hidup. Tuhan mengirimkan mu untukmu, sekedar memberi warna sebelum pada akhirnya aku pergi. Kau tau? Hadirmu bagaikan sebuah pelangi dikala hujan yang redup. Kau memberikan warna dalam hariku, setitik cahaya terang di saat gelap mulai menyelimuti hidup ku. Terima kasih untuk segalanya. Setelah kepergian ku. Aku mohon kamu jangan bersedih. Please don’t cry honey!!! Aku tidak mau melihat setetes air mata pun jatuh dari mata indah mu. Yang aku mau, kamu harus tetap tersenyum, karna senyuman itu yang telah mampu mengubah hidupku. Terus melangkah melanjutkan hidupmu, jangan pernah menyerah percaya aku selalu di sisi mu.
Kau tau aku begitu sangat menyayangi kamu. You are the only one in my heart, now,
today, and forever. I love you…….
Aku rasa sudah cukup aku bercerita. Maaffin aku ya, jangan bersedih, senyum dong….
Mungkin di dunia ini aku tidak bisa memiliki mu. Aku akan menunggu mu di surga dan akan aku pastikan aku akan memilikimu sepenuhnya. Selamat tinggal sayang. Aku sayang kamu….”

Setelah melihat video itu. Aisyah menangis terseduh – seduh, sekencang – kencangnya. Dia tak mampu menahan air mata yang telah membendung di kelopak matanya. Dalam hatinya mengatakan ada penolakkan atas takdir yang telah terjadi.
“menangislah jika itu bisa membuat anda merasa lebih baik,” dokter Tony mencoba menenangkan Aisyah.
“kenapa semua ini bisa terjadi, kenapa dok? Tuhan itu tidak adil…”
“jangan bicara seperti itu. Tuhan selalu memiliki rencana lain di setiap rencana hamba-Nya. Percayalah bahwa Tuhan akan memberikan hikmah-Nya di balik semua ini.”
Air mata Aisyah terus mengalir seakan tak ingin berhenti ketika dia meratapi orang yang sangat dia cintai telah pergi. Namun begitulah hidup, kita sebagai manusia hanya mampu berencana namun yang menentukan rencana adalah restu sang Ilahi. Kematian bukanlah sebuah tabu yang harus di sesali karna cepat atau lambat kita semua juga akan pergi menghadap sang Ilahi.

Setelah beberapa saat kemudian Aisyah mulai tenang…
“dok, saya ingin bertanya?”
“iya, silakan.”
“sejak kapan Dimas mengidap penyakit kanker paru-paru?”
“itu sudah lama sejak dia masih duduk di bangku SMA.”
“selama itu dokter?” ujar Aisyah tak percaya.
“iya. Memangnya Dimas tidak pernah menceritakan semua ini padamu?”
“tidak dok.”
“hmm.. dasar anak itu ya.” Keluh dokter Tony.
“kenapa dok?” ujar Aisyah tak mengerti.
“sebenarnya dia itu?”


TO BE CONTINUE…………….


Quotes :

"Mencintai seseorang itu bukan berbicara yang baik dapat yang baik dan buruk dapat yang buruk pula. Cinta itu bercerita tentang bagaimana cara kita menerima orang yang kita cintai, baik buruknya itu bagaimana cara kita menciptkan keajaiban dalam suatu hubungan. Karna setiap orang memiliki sisi kekurangan dan kelebihannya, jika kamu hanya melihat orang dari sisi buruknya saja, maka kamu tidak akan pernah bisa menciptakan keajaiban itu."
- Riyan Autogenestic


Follow :
- IG                : @riyan.26
- LINE            : @dsv26
- TWITTER    : @rian_dasilvaid
- FB                : riyan autogenestic


Terima kasih buat yang sudah baca, di tunggu ya kelanjutan kisahnya - see you....


4 komentar: